0

Tugu Aman Dimot di pelataran depan Kantor Bupati Aceh Tengah

Tugu Aman Dimot di pelataran depan Kantor Bupati Aceh Tengah, Provinsi Aceh
Aman Dimot adalah seorang pejuang dari Tanoh GAYO Aceh  saat mempertahankan RI dari Agresi Belanda. Aman Dimot dikisahkan sangat pemberani , Aman Dimot juga yang membantai pasukan Belanda di Tiga Binga Tanah Karo Sumut tahun 1949. Pemda Aceh Tengah mengenang jasa Aman Dimot dengan cara membuat sebuah tugu di depan kantor orang nomor satu di Aceh tengah. tapi sayang Pemerintah Provinsi Aceh kurang, bersemangat untuk menurunkan Tim Pencari Pakta untuk menelusuri Jejak Perjalanan Aman dimot, sehingga aman Dimot kekurangan data dan Syarat untuk mendapat kan Gelar Pahlawan Nasional 

Liris: 
RUHDI.SE
Cicit Panglima aman Dimot

0

Aman Dimot


Aman Dimot

Pahlawan Aman Dimot
by sudirman
I Pendahuluan
Perjuangan bangsa pada umumnya diartikan sebagai wujud rasa cinta tanah air, kerelaan dan kesadaran untuk membela negara yang timbul pada suatu bangsa. Sementara pengertian nasionalisme adalah hasil proses interaksi kesadaran subjektif antargolongan masyarakat dalam mengembangkan bangsa (Indonesia), dan di lain pihak adalah kondisi objektif sosial politik dalam kurun waktu tertentu yang berkembang di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini nasionalisme tidak hanya terbatas pada ucapan saja, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata demi kepentingan bangsa dan negara.
Nasionalisme suatu bangsa lebih disebabkan oleh adanya kemauan bersama dari kelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku dan agama. Demikian juga oleh faktor geografis, ekonomis, historis dan lain-lain. Amanah itulah yang telah dilaksanakan oleh orang-orang cerdas dan tercerahkan pada zaman dahulu, di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot, dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini demi kehidupan yang bermartabat.

II Perjuangan dan Pahlawan Bangsa
Bangsa kita pernah mengalami beberapa masa penjajahan, seperti masa Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang, serta masa Perang Kemerdekaan 1945-1949. Dalam perjalanan sejarah masa penjajahan tersebut telah melahirkan aneka pengorbanan dan berbagai gumpalan mega derita dalam berbagai dimensi kehidupan anak manusia.
Pada periode itu pula tampil tokoh masyarakat di setiap daerah untuk memimpin rakyatnya menentang penjajahan tersebut. Situasi konflik dan antagonisme itulah yang sesungguhnya melahirkan pahlawan. Periode kolonial dengan segala implikasi sosial-ekonomi-politiknya selalu dikambinghitamkan sebagai sumber segala jenis kepentingan, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, dan keterbelakangan. Sikap dan prilaku individu atau kelompok yang berkehendak mengubah dan atau mengakhiri keadaan serba tidak adil dan timpang itu dianggap sebagai tindakan kepahlawanan. Orang atau kelompok yang ingin dengan sepenuh hati, tenaga, dan pikiran yang mewujudkan kondisi-kondisi ideal bagi komunitasnya diberi predikat pahlawan. Seorang pahlawan dengan demikian adalah seorang yang dengan gigih dan semangat rela berkorban bersedia mengabdikan diri demi merealisasikan cita-cita yang sesungguhnya juga merupakan cita-cita yang kolektif. Biasanya pahlawan melakukan perjuangan mulia demi kepentingan umum tanpa memperdulikan resiko atas dirinya sendiri.
Untuk itu, kita mengenal adanya pahlawan dari berbagai daerah, salah satu di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot, seorang pahlawan Aceh yang berasal dari Aceh Tengah.

III ACEH MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Perjanjian Linggajati 1947, ternyata gagal dilaksanakan, yang berujung dengan ultimatum Belanda Mei 1947, karena Belanda ingin membentuk pemerintah bersama dengan pimpinan tertinggi berada di Nederland. Belanda ternyata masih berniat menguasai Indonesia, sehingga terjadi Agresi Belanda I dengan menyerbu berbagai daerah pada tanggal 21 Juli 1947. demikian juga dengan gagalnya perjanjian Renville, yang berujung dengan terjadinya Agresi Belanda II.
Memahami situasi tersebut, masyarakat Aceh sudah dalam keadaan siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan dilakukan oleh Belanda. Hal itu dengan melakukan konsolidasi kekuatan divisi dan lasykar. Bahkan jauh sebelumnya, yaitu setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu 1945, ternyata Sekutu mendarat ke Indonesia, khususnya Sumatera Timur Oktober 1945, Sekutu ternyata membonceng tentara Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Akibat rong-rongan yang terus-menerus dilakukan oleh tentara Belanda, sehingga mendapatkan perlawanan sengit dari rakyat.
Masyarakat Aceh yang sudah memperhitungkan sebelumnya bahwa Belanda akan kembali lagi, sehingga sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi jika Belanda benar-benar kembali. Ternyata perkiraan itu benar, sehingga untuk mengantisipasi agar Belanda tidak dapat masuk dan menyerbu Aceh maka masyarakat Aceh yang tergabung dalam berbagai lasykar dan divisi terus menghadang gerak laju Belanda di daerah Sumatera Timur. Lasykar-lasykar rakyat Aceh kemudian terus membanjiri Sumatera Timur untuk menghempang Belanda masuk Aceh dan mengusir penjajahan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

IV Aman Dimot : Pahlawan Kemerdekaan dari Aceh Tengah
Demikian halnya yang dilakukan oleh masyarakat di Aceh Tengah, mendengar keadaan tersebut mereka tidak tinggal diam dan merasa terpanggil untuk membantu perjuangan di setiap front di Sumatera Timur. Banyak pasukan pejuang dari Aceh Tengah yang berangkat ke sana, salah satu di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot.
Panglime Abu Bakar Aman Dimot lahir di Tenamak, Linge Isaq tahun 1920. Sebagai seorang muslim, ia semenjak kecil telah ditempa dengan pendidikan agama oleh orang tuanya, sehingga ketika besar menjadi berkepribadian yang tangguh dan mandiri serta mampu menghadapi berbagai masalah dengan tegar dan sabar.
Tidak hayal lagi ketika musuh sudah mengancam keyakinan dan tanah airnya maka bergelora jiwanya untuk tampil membela agama dan bangsa. Hal itu ia buktikan ketika Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Lebe menyerbu Belanda ke Sumatera Timur, Panglime Abu Bakar Aman Dimot ikut begabung. Dalam perjalanan ke Sumatera Timur, tiba-tiba dihadang oleh pasukan musuh yang sedang berpatroli di Bukit Talang, sehingga terjadi pertempuran sengit antara pasukan Panglime Aman Dimot dengan pasukan patroli Belanda.
Pada tahun 1947, Batang Serangan, Langkat yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pasukan Belanda sehingga pasukan Panglime Abu Bakar Aman Dimot bergabung dengan pasukan pejuang setempat menyerang Batang Serangan dan rumah sakit umum Batang Serangan yang sudah dijadikan markas militer Belanda. Dalam penyerangan tersebut pasukan pejuang menjadi terdesak karena pasukan musuh yang memiliki senjata berat, sehingga pasukan pejuang mengundurkan diri untuk mengatur strategi. Namun, apa yang terjadi, Panglime Abu Bakar Aman Dimot beserta dua orang temannya tidak mau mengundurkan diri dan terus maju mendekati markas militer Belanda. Ketika tengah malam ia menerobos masuk ke markas militer Belanda sehingga terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Belanda di dalam markas tersebut. Panglime Abu Bakar Aman Dimot dengan kelincahannya dalam berperang sehingga dapat lolos dalam peristiwa tersebut, padahal kedua temannya tewas, Panglime Abu Bakar Aman Dimot hanya mengalami luka-luka ringan. Belanda terpaksa mengosongkan markas tersebut karena serangan yang terus-menerus dilakukan oleh pasukan pejuang.
Sekembali mereka dari Sumatera Timur ke Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe membentuk Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah untuk program gerilya jangka panjang mempertahankan kemerdekaan. Panglime Abu Bakar Aman Dimot ikut bergabung dalam barisan tersebut.
Atas instruksi Komandan Resimen Devisi Teungku Chik Di Tiro, Barisan Gurilla Rakyat dari Takengon menuju Tanah Karo pada bulan Mei 1949 untuk menyerang Belanda yang telah melancarkan agresinya yang kedua. Perjuangan ke Tanah Karo itu dipimpin langsung oleh Komandan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe dan pimpinan operasi di antaranya dipimpin oleh Panglime Abu Bakar Aman Dimot.
Pasukan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah beberapa kali terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda. Panglime Abu Bakar Aman Dimot yang dipercayakan sebagai komandan pertempuran terus menghadang dan menghancurkan konvoi Belanda. Pada suatu hari, pasukan Belanda yang sedang menuju Tiga Binanga diserang oleh pasukan pejuang Panglime Abu Bakar Aman Dimot di jalan raya Kabanjahe jurusan Kutacane. Di tempat tersebut terjadi pertempuran sengit dan memakan banyak korban kedua belah pihak.
Ketika pasukan pejuang mengurus pejuang yang gugur ke rumah sakit Kabanjahe, tiba-tiba datang bala bantuan tentara Belanda. Komandan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe, memerintahkan pasukan untuk mundur, Panglime Aman Dimot selaku komandan salah satu pasukan menyuruh anak buahnya untuk mundur. Akan tetapi, Panglime Abu Bakar Aman Dimot tidak mau mundur, bersama Pang Ali Rema dan Pang Edem bertahan menunggu musuh dengan cara menyatukan dirinya dengan mayat-mayat yang sudah bergelimpangan tadi, sehingga Belanda mengira mereka bertigapun sudah mati. Ketika Belanda meneliti mayat-mayat anggota pasukannya, tiba-tiba Panglime Abu Bakar Aman Dimot beserta temannya menyerang serdadu Belanda dengan pedang, banyak serdadu Belanda yang tewas dan kedua teman Panglime Abu Bakar Aman Dimot juga tewas, sedangkan Panglime Panglime Abu Bakar Aman Dimot terus mengejar serdadu Belanda dengan pedang. Belanda menjadi bingung karenan beberapa kali gagal membunuh Panglime Abu Bakar Aman Dimot, akhirnya pasukan Belanda menangkap Panglime Abu Bakar Aman Dimot dan meledakkan granat ke dalam mulutnya, tidak cukup dengan itu, pasukan Belanda menggilas tubuh Panglime Abu Bakar Aman Dimot dengan tank. Maka pada tanggal 30 Juli 1949, gugurlah Panglime Aman Dimot di Rajamerahe, Sukaramai, Karo dan dimakamkan di tempat itu. Beberapa tahun kemudian kerangkanya dipindahkan ke Tiga Binanga, selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.

V Penutup
Merujuk kepada pemahaman nasionalisme klasik, yakni perjuangan kebangsaan untuk membebaskan negeri dari penjajah. Dalam konteks ini, nasionalisme suatu bangsa hanya sebatas berjuang membebaskan bangsa dari bangsa penjajah. Namun, dalam konteks kekinian, nasionalisme tidak hanya sebatas berkecimpung dalam pergolakan perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa yang telah diraih.
Tiada semua pahlawan yang namanya abadi sepanjang masa, dan masih banyak pahlawan yang tiada dikenal dan tiada disapa lagi. Akibat perang ini telah membawa kehidupan anak manusia di bumi ini menjadi dua belah, pada satu belah ia mendapat nama dan harta, di belahan lain ia bergelut dalam berbagai gumpalan derita sampai kepada anak cucunya, dan tiada sedikit menjadi pengkianat bagi bangsanya.
Kecuali itu, sudah menjadi kepastian sejarah bahwa semangat rakyat di bumi Serambi Mekah ini tidak mudah dipadamkan dan ditaklukkan oleh penjajahan.
Namun pertanyaan selalu ada, apakah generasi sesudahnya dapat menyimak perjalanan sejarah itu, sehingga dalam gerak dan langkah mereka senantiasa menghayati nilai-nilai pengorbanan, ketaqwaan, ketulusan, cinta tanah air, tidak kenal menyerah dan tanpa pamrih. Apakah mereka tidak dapat menyingkirkan atau setidaknya tidak turut menabur kerikil-kerikil tajam di atas jalan raya perjalanan sejarah dan kehidupan umat manusia di negeri yang kita cintai ini.
Panglime Abu Bakar Aman Dimot adalah seorang pahlawan yang dengan tindakan-tindakan nyata telah berjasa kepada nusa dan bangsa. Demikian besar jasanya dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan negara ini, sudah selayaknya untuk menghargai jasanya dengan mengangkat sebagai Pahlawan Nasional.


Daftar Pustaka

Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah (Perang Aceh 1873-1912), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Ibrahim, Mahmud, Mujahid Daratan Tinggi Gayo, Takengon : Yayasan Maqamammahmuda, 2001.

Kohn, Hans, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, Jakarta : Pembangunan, 1876

Muhammad Isa, T., Mr. Teuku Moehammad Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 1999.

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994

van Niel, Robert, The Emergense of Modern Indonesian Elite, Den Haag : The Hague van Hoeve, 1960

Wiwoho, B., Pasukan Meriam Nukum Sanany, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.

Zamzami, Amran, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
0

PEDANG PANGLIMA AMAN DIMOT

 Peninggalan Pedang Panglima Aman Dimot di Pesejuk di Batalion 114 Satria Musara, oleh Siti Ramlah anak dari Seh Ahmad, Anak Kandung dari Panglima Aman Dimot 
Pedang Panglima Aman Dimot pada saat itu di titipkan  kepada sahabatnya Imem Lumut,  di Kecamatan Linge, pada saat itu Aman dimot menitipkan ke pada Imem Lumut, Kabupaten Aceh Tengah di saat keberangkatan terahir tahun 1949, Sumatra Utara Tiga Binanga, pada saat itu Aman Dimot Berkata kepada sahabatnya Imem Lumut,  bahwa  saya tidak Pulang dari medan Perang melawan Belanda maka ku titipkan Pedang ini sebagai tanda bahwa kepergianku demi bangsa dan Tanah Air,      




 Pedang Aman Dimot di ambil oleh kelurga Besar pada tahun 2008



0

Panglima Aman Dimot Asal Gayo Provinsi Aceh


PANGLIMA AMAN DIMOT Bersama Rekan Sepejuangan,

Moto, Panglima Aman Dimot di kenal dan sangat di terap dalam keluarga Besar yaitu.
LEBIH BAIK BERPUTIH TULANG, DARI PADA BERPUTIH TAPAK
0

PANGLIMA AMAN DIMOT DENGAN ILMU KEBALNYA HADANG MOBIL TANK BELANDA

Indonesia, merupakan negeri yang memiliki banyak pahlawan dan manusia-manusia unik yang terlibat dalam usaha merebut kemerdekaan. Ragam cerita dan kisah seputar perjuangan menghalau Belanda dari nusantara, terkadang diluar logika sehat. Bentuk cerita dan kisah aksi mereka di medan perang gerilya sungguh berbeda dengan aksi gerilyawan di tempat lain. Salah satu kisah paling unik dan heroik yang selalu dikenang rakyat Tanoh Gayo Aceh Tengah sampai hari ini adalah kisah keberanian Abubakar Aman Dimot.

Lelaki kelahiran Tenamak Kecamatan Linge sekitar tahun 1900, oleh teman-temanya dipanggil Aman Dimot. Dia merupakan seorang pejuang asal Tanoh Gayo Aceh Tengah yang tergabung dalam pasukan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) yang dikomandani oleh Tengku Ilyas Leube. Saat berlangsungnya Agresi Militer Belanda I, seluruh pejuang Aceh dengan sukarela menuju ke front Medan Area untuk menghalau pasukan Belanda yang ingin menduduki kembali wilayah nusantara.

Menurut AR Hakim Aman Pinan (dalam Buku Pesona Tanoh Gayo, 2003), taktik perang gerilya yang digunakan para pejuang asal Aceh tersebut dalam menghadapi Belanda di front Tanah Karo Sumatera Utara belum mampu menghentikan laju pasukan Belanda. Pertempuran yang berlangsung di Kabanjahe Tanah Karo itu tidak kunjung berakhir, meskipun dari kedua belah pihak sudah banyak jatuh korban jiwa. Belanda terus menambah pasukan bantuan untuk mengalahkan gerilyawan yang selalu menghalangi jalan mereka untuk kembali menguasai Indonesia.

Pada tanggal 30 Juli 1949, pasukan Bagura dan Mujahidin yang diperkuat oleh 45 orang dengan persenjataan senapan dan kelewang mengintai konvoy pasukan Belanda yang diperkuat 2 tank dan 25 truk. Diantara anggota pasukan pengintai itu termasuklah seorang “pang” (sebutan untuk orang yang berani dan kebal-bulletproof) yang bernama Aman Dimot. Dia selalu siap bertempur secara terbuka, kapan dan dimana saja.

Mereka sudah mengintai konvoy pasukan Belanda sejak pagi. Begitu iring-iringan mendekat ke kawasan Rajamerahe (Tanah Karo), pasukan Bagura bersama gerilyawan setempat menyerbu konvoy itu dan mencincang pasukan Belanda yang keluar dari tank. Pertempuran jarak dekat itu tidak kunjung berakhir, sementara pasukan Bagura sudah sangat lelah. Komandan pasukan sudah perintahkan seluruh personil untuk mundur, namun Aman Dimot tetap bertahan.

Dengan bersenjatakan kelewang, Aman Dimot kembali mengamuk sambil menebas pasukan Belanda yang dekat dengan posisinya. AR Hakim Aman Pinan (2003) mencatat, cukup banyak pasukan Belanda yang tewas karena sabetan kelewang Aman Dimot, namun tidak ada yang menghitung berapa jumlah pastinya. Tragisnya, karena keasyikan menebas dan membabat pasukan Belanda, tanpa disadari Aman Dimot ternyata dia sudah dikepung oleh bala bantuan pasukan Belanda.

Sejumlah pasukan Belanda yang sedang mengepung Aman Dimot secara serentak melepaskan ratusan butir peluru dari senapan otomatis dan machine gun. Peluru-peluru tembaga yang dimuntahkan dari senapan pasukan Belanda membentur tubuh Aman Dimot, dan dia pun terkulai lemas. Meski peluru itu nyata mengenai tubuhnya, berdasarkan penuturan pasukan Bagura yang selamat, tidak ditemukan bekas luka peluru ditubuh Aman Dimot.

Menyaksikan peluru yang mereka tembakkan tidak melukai tubuh Aman Dimot, pasukan Belanda panik. Mereka khawatir, jika kemudian Aman Dimot pulih dari lemasnya bisa mengamuk dan menebas mereka dengan kelewangnya. Kemudian tubuh Aman Dimot digilas dan diseret dengan tank, ternyata masih juga hidup. Akhirnya tubuh Aman Dimot diletakkan dalam parit, lalu pasukan Belanda memasukkan granat ke mulut Aman Dimot dan meledakkannya. Aman Dimot pun gugur sebagai bunga bangsa pada pukul 12.00 WIB yang akhirnya dikebumikan oleh penduduk setempat di Desa Kandibata Tanah Karo.

Semangat patriotik yang diperlihatkan Aman Dimot diakui oleh semua orang sampai hari ini. Sayangnya, meski sudah diusulkan kepada Pemerintah, toh si pemberani Aman Dimot belum memperoleh penetapan sebagai pahlawan. Dia orang biasa yang memiliki keberanian luar biasa, layak disebut pahlawan. Semoga di hari pahlawan tahun ini, sang pemberani itu mendapat perhatian dari Pemerintah, dan berhak menyandang gelar sebagai salah seorang pahlawan kemerdekaan.
0

Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa

Panglima Teungku Tapa:
Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai saat Sultan Muhammad Daudsyah ditangkap di Pidie pada tahun 1903 ternyata belum juga berakhir. Meskipun Sultan telah ditangkap, perang masih saja berlarut-larut bahkan sampai menjelang kadatangan Jepang ke Aceh pada tahun 1942. Perang yang sangat panjang ini, tentu saja melahirkan banyak sekali panglima perang, di antaranya yang terkenal adalah Panglima Tengku Tapa.Siapa Panglima Tengku Tapa?. Sejauh ini belum ada referensi yang menyebutkan nama asli Panglima yang terkenal ini. Namun nama beliau sangat sering disebut dalam sejarah Perang Aceh, khususnya pada fase terakhir, yaitu akhir abad ke-19. Dalam perlawanan terhadap Belanda di wilayah pesisir timur Aceh sejak dari tahun 1898 sampai tahun 1900.

Panglima Tengku Tapa, namanya sering disejajarkan dengan Panglima Nyak Makam yang sama-sama sangat gigih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh dalam rangka mempertahankan eksistensi Kerajaan Aceh Darussalam dari gempuran Belanda yang semakin intensif dilakukan di seluruh wilayah Aceh. Tidak tanggung-tanggung, Van Heutsz sendiri turun tangan dalam mengejar pasukan Tengku Tapa hingga ke Idi, Aceh Timur dari Kutaraja (Banda Aceh).

Panglima Tengku Tapa berasal dari daerah Telong Redelong Tue, yang berjarak kira-kira 25 kilometer dari Takengon Gayo Lut, ibukota Aceh Tengah sekarang. Menurut sumber lokal menyebutkan bahwa, para pembantu Tengku Tapa di Dataran Tinggi Gayo adalah Pang Pren dari Munte Kala kampung Kung Pegasing, sementara Pang Ramung dari Kebayakan. Pang Pren dan Pang Ramung sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama panglima Tengku Tapa, bahkan kedua-duanya sering diikutsertakan Tengku Tapa menghadap Sultan Aceh dan pembesar-pembesar lainnya di Kutaraja. Pang Pren diberi tugas oleh Panglima Tengku Tapa di daerah Bebesan-Pegasing, sementara Pang Ramung mendapat tugas memimpin daerah Bukit kebayakan di Gayo Lut. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Pang Pren mewakili Panglima Tengku Tapa di seluruh daerah Gayo Lut bersama Pang Ramung.

Pasukan Panglima Tengku Tapa merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi Gayo dan pasukan dari Aceh. Mereka beroperasi di sekitar Aceh timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 dan 1900. Pasukan ini dikenal sangat tangguh, berani dan fanatik oleh pasukan Belanda. Namun, karena pasukan Van Heutsz yang sangat besar dalam jumlah dan persenjataannya membuat pasukan Panglima Tengku Tapa harus mengundurkan diri ke Dataran Tinggi Gayo yang berjarak kira-kira 40 sampai 50 kilometer dari Idi.

Snouck Hurgronje yang banyak menulis tentang Aceh menyebutkan bahwa Panglima Tengku Tapa adalah “orang ajaib” atau “orang keramat” yang dalam istilahnya sendiri menyebut “wonderman” yang berasal dari Gayo Telong. Menurut Snouck, Tengku Tapa sangat banyak pengikutnya pada tahun 1898 hingga tahun 1900, terutama di daerah Aceh Timur dan daerah Pasee, Aceh Utara. Tengku Tapa tetap melakukan perlawanan bersama pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Gayo dan orang-orang Aceh, hingga beliau syahid di daerah Pasee pada tahun 1900.

Snouck menyebutkan, pada awalnya Tengku Tapa merupakan seorang penghisap candu dan pemain judi, kemudian dia mendapat ilham setelah bertapa selama tujuh tahun di Gunung Geureudong dekat Telong Takengon. Sekembalinya dari pertapaan, dia insyaf dan memiliki ilmu kekuatan ghaib. Perubahannya secara fisik sangat kentara, sehingga ia tidak dikenali lagi oleh seorangpun yang mengenal sebelumnya. Demi berbakti dalam perang sabil atau perang suci melawan Belanda, ia lebih memilih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh, karena ia berpikiran akan mendapat pengikut yang lebih banyak dibandingkan bila berjuang di daerahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan ia tampil dalam peperangan di pesisir timur Aceh bersama-sama dengan para pengikutnya.(Snouck, 1903, hlm.187)

Dalam versi lain, M. Said, menyebutkan Tengku Tapa yang berasal dari Gayo dan memimpin pertempuran di wilayah Aceh Timur. Hal itu terjadi setelah Panglima Nyak Makam syahid oleh Belanda di Aceh Besar. Dikisahkan, Tengku Tapa berjuang bersama dengan istrinya sejak 30 Juni 1898 dalam pertempuran melawan serbuan Belanda di Aceh Timur yang terus berkobar. Setelah Idi Cut dapat dikuasai oleh pasukan Tengku Tapa, beliau memilih Peukan Idi sebagai markas pertahanannya.

Pihak Belanda mencoba untuk merebut Idi Cut kembali, tetapi pasukan Tengku Tapa terus maju mengadakan serangan sampai ke ibukota Idi. Di daerah dekat Idi, di Teupin Batee Tengku Tapa membangun kubu-kubu pertahanan pasukannya. Pada tanggal 3 Juli 1898, balatentara Belanda mendaratkan balabantuan tambahan secara besar-besaran ke Idi. Tiga Kompi tambahan dikerahkan untuk menyerbu pertahanan Tengku Tapa di Teupin Batee.

Menurut laporan Belanda, penyerbuan ke Teupin Batee tidak berhasil dilakukan sehingga mereka terpaksa mundur lagi ke Idi. Pasukan Teungku Tapa yang berkeinginan merebut kota Idi membangun kubu pertahanan di daerah Seuneubok. Belanda mengirimkan pasukan besar-besaran yang dipimpin van Heutsz sendiri untuk membantu pasukan lama yang semakin terdesak oleh pasukan serbuan Tengku Tapa. Pada tanggal 7-11 Juli 1898, pasukan van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke pertahanan Panglima Tengku Tapa di Seuneubok. Akhirnya pasukan Tengku Tapa tidak dapat mempertahankan Seuneubok dan mereka terpaksa mundur ke Tanah Gayo.(M.Said, 1961, hlm.615).

Dalam tulisan versi lain Hazil menyebutkan, bahwa Tengku Tapa adalah seorang ulama dari Idi. Beliau merupakan penganjur perang sabil terhadap Belanda. Teungku Tapa mengajarkan kepada rakyat, bahwa suatu mukjizat akan terjadi di Aceh; seperti dalam hikayat Malem Dewa dan Meureundam Dewi dalam epos Malem Dewa yang sangat masyhur, kini telah bangkit kembali di Aceh Dar-al Islam. Tengku Tapa menyesuaikan hikayat yang populer itu dengan suasana kekinian pada masa itu, yakni dalam suasana Perang Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan agama dalam melawan penjajah yang kafir.

Kedua pahlawan yang telah bangkit itu akan menyelamatkan Aceh dari penjajahan. Demikian amanat dari Tengku Tapa. Ia mengajak rakyat Aceh ikut serta memerangi kafir dan menyelamatkan kemerdekaan negara dan agama. Anjuran ini disambut oleh rakyat dengan hangat. Kemudian pasukan Tengku Tapa menjadi besar dan laksana banjir meluas ke daerah-daerah lain pada akhir Juni 1898.

Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa untuk menghentikan perlawanannya, tetapi tidak berhasil. Van Heutsz terpaksa menunda mengejar Teuku Umar dan Panglima Polem. Ia sendiri terpaksa berangkat ke Idi untuk memadamkan perlawanan yang tidak disangka-sangka itu. Namun, pasukan Tengku Tapa terus maju menghadang pasukan meriam dan infanteri Van Heutsz, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi syahid. Pasukan Van Heutsz memperoleh kemenangan dalam serbuan itu, dan mereka terus mengejar sisa-sisa pasukan Tengku Tapa hingga ke Seuneubok. (Hazil, 1952, hlm.141-142).

Menurut Snouck, Tengku Tapa syahid di daerah Pasee Aceh Utara pada tahun 1900. Sejak saat itu sang “wonderman” sudah tidak pernah muncul lagi dalam perlawanan rakyat di pesisir timur Aceh.

Referensi :
Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh, Djakarta: Djambatan, 1952.
Hurgronje, Snouck.,C. Het Gajoland en zijne bewoners, Batavia: Pemerintah Hindia Belanda, 1903.
Said, M., Atjeh Sepandjang Abad, Medan: Waspada, 1961.

Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
0

Tgk, Rustim telah Susul Sobatnya Aman Dimot




GAYO Provinsi Aceh, telah banyak kehilangan saksi sejarah ditengah bersemangatnya upaya generasi muda menggali jejak-jejak identitas dan kebesaran Gayo sebagai salah satu suku bangsa yang berperadaban di negeri ini. Beberapa hari setelah musibah besar melanda Gayo dengan goyangan Gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter (SR) 2 Juli 2013 lalu, salah seorang Pejuang Kemerdekaan RI berpulang di negeri Linge tepatnya di Kemerleng, sekitar 10 kilometer dari Isaq ibukota Kecamatan Linge.

Dialah Rustim, sahabat seperjuangan calon pahlawan nasional Aman Dimot telah berpulang ke Rahmatullah, 8 Juli 2013 lalu. Dia merupakan seorang Veteran TNI yang ikut memperjuangkan kemerdekaan RI. Menurut Iwan Fazri EnKa, Ketua Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon yang sempat berdialog panjang bersama Rustim, 9 Juni 2013 lalu, Rustim adalah sahabat Aman Dimot. “Dia punya beberapa foto bersama Aman Dimot saat hidupnya dan sempat ditunjukkan kepada saya,” kata Iwan Fazri beberapa waktu lalu.

Dan atas jasa perjuangan Rustim, salah seorang Bupati Aceh Tengah, Abdul Wahab saat berkuasa menghadiahkan tanah seluas 200 hektar untuk Rustim. Lokasi tanah tersebut adalah kampung Tero yang saat ini dikenal sebagai Kampung Kemerleng.
“Beliau mengajak berapa masyarakat untuk bertempat tinggal di sana dan berkembanglah kampung tersebut sampai saat ini,” terang Iwan Fazri.

Bersama Aman Dimot, Rustim turut ikut berjuang berperang melawan tentara Belanda di Kabanjahe. Dia juga turut menjadi saksi gugurnya Aman Dimot.
Sumiatun, istri Alm. Rustim. (Kha A Zaghlul)
Sumiatun, istri Alm. Rustim. (Kha A Zaghlul) “Saat perang berkecamuk, Rustim juga sempat berteriak agar Aman Dimot mundur dari kancah peperangan. Saat itu, Aaman Dimot tidak menghiraukan teriakan teman-temannya. Aman Dimot dengan gagah berani melawan musuh hingga gugur”. Begitu kisah Rustim kepada Iwan Fazri.

Kecewa terhadap Indonesia dan Gayo Rustim juga sempat mencurahkan isi hatinya kepada Iwan Fazri terkait keadaan Indonesia saat ini dan Gayo khususnya. “Mengapa Indonesia cuma bisa mengolah plastik dan barang bekas, mengapa tak dapat untuk membuat suatu ?. Mengapa sekarang negara dan daerah ini sangat gampang di obrak-abrik orang lain ?. Dan mengapa masyarakat Indonesia pada umumnya tak dapat merasakan kemerdekaan? dan khusus terhadap Gayo, diungkapkan Iwan Fazri, Alm. Rustim mempertanyakan mengapa masyarakat Gayo saat ini sudah terpecah-pecah yang tak lagi mengutamakan kebersamaan dan bersatu !. Pejuang Rustim meninggal saat berusia 92 tahun, meninggalkan seorang istri, Sumiatun (82) dengan 4 orang anak. (Kha A Zaghlul)
2

PEDANG PENINGGALAN PANGLIMA AMAN DIMOT

Nama Batalion 114 Satria Musara yaitu Pedang sakti, di ambil dari nama Pedang Aman Dimot dari Tanah Gayo yang terletak di Rembele, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh   
0

TUGU PANGLIMA AMAN DIMOT

Tuga Panglima Amandimot atau di sebut Abubakar Bin Utih Terletak di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh, depan Kantor Bupati Aceh Tengah
0

Aman Dimot di Makamkan di Kabupaten Kaban Jahe Sumatra Utara, di Makam Taman Pahlawan
0

PANGLIMA AMAN DIMOT ASAL GAYO, PROVINSI ACEH




Oleh Mahmud Ibrahim
Aman Dimot lahir di Tenamak Kecamatan Linge Isaq tahun 1900. Beliau menyelesaikan pendidikan membaca Al Qur’an di Desa kelahirannya. Pendidikan, pengalaman dan lingkungannya telah membina Aman Dimot hidup sederhana, beriman teguh, jujur dan memiliki prinsip yang kokoh. Perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat berkesan dan tidak dapat di lupakan.
Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Takengon awal September 1945, Aman Dimot menggabungkan diri ke dalam Lasykar barisan berani mati, kemudian kedalam Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Tgk. Ilyas Lebe dan Tgk. M. Saleh Adry. Pada tanggal 25 Mei sampai dengan 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan kemeliteran yang diselenggarakan oleh Dewan perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dilatih oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia. 2)
Ketika terjadi agresi meliter Belanda kedua 19 Dessember 1948, Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh. Proses sejarah perjuangan merintis, merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia membuktikan bahwa Aceh Tengah berani mengirim pasukan dan bahan pangan ke medan pertempuran di luar Daerah. Tidak kurang dari lima gelombang pejuang dari Aceh Tengah, dengan gigih merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dimedan pertempuran Aceh Timur, Langkat, Medan, Tapanuli dan Karo, bahkan sampai ke Bonjol Sumatra Barat.
————————–
——————–
1) Panglima atau Pang di Gayo adalah gelar yang diberikan masyarakat pada seseorang yang memiliki keberanian luar biasa melawan musuh. Nama asli Aman Dimot adalah Abu Bakar bin Utih.
2) Surat tamat latihan Kemeliteran, 10 Juni 1946.
Pada bulan April 1949, Lasykar pejuang dari Aceh Tengah menuju perbatasan Aceh-Langkat, dipimpin oleh Tgk. Ilyas Lebe, Tgk. Saleh Adry dan Abd. Karim Atang Muguril untuk bersama pasukan lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan di tanjung Pura. Sementara itu Belanda menyerang pasukan Indonesia di tanah karo.
Tgk. Ilyas Lebe kembali ke Takengon dan menyusul pasukan “BAGURA” (Barisan Gurilya Rakyat) untuk ikut mematahkan serangan Belanda di Tanah Karo. Bagura memiliki 300 personel, 200 orang dari Takengon dan 100 dari Belang kejeren dan Kutacane, dikoordiner oleh Tgk. Ilyas Lebe. Personel yang dapat dicatat antara lain : Abd. Rahman Ali gayo (Ajudan koordinator), Chairul Bachari (Sekretaris), Hasiluddin (Kesehatan), Zulkifli (Angkutan), Saifuddin Kadir (kuril), Ali Hasan, Agus Salim, Gundala Pati, M. Yasin Bale, Adam Isaq, Aman Ridah, Z. Kejora, Aman Jauhari, Usman, muse, Adam, Ali dan beberapa orang bergerak “panglima : Panglima Aman Dimot, panglima Ali, panglima Alim dari Takengon, panglima Daling, panglima Kilet dan panglima Sekunce dari Blang Kejeren. 3)
Mereka dibagi atas empat kelompok yaitu Barisan Berani Mati, Barisan Jibaku, TRI dan Pasukan Berkuda, Masing-masing bertugas sebagai penyerang pertama, penyerang kedua pengepung dan penembak serta pengangkut perbakalan dan amnisme. Atas perintah Komandan Resimen Devisi Tgk. Tejik Di tiro dan dengan persetujuan Gubernur meliter Aceh, Langkat dan Tanah karo, Bagura bergerak menuju Font Tanah karo pada hari Rabu bulan Mei 1949 4) melalui route Takengon-Blangkejeren dan Kutacane sejauh 265 km dengan berjalan kaki, kecuali Takengon-Waq sejauh 60 km dengan menggunakan truck.
Ini merupakan gelombang kelima belas atau terakhir pemberangkatan pejuang dari Aceh Tengah untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di luar daerah menjelang pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia.
———————————————-
3) Catatan dan wawancara H. Abd. Rahman Aly Gayo, 5 February 1981 di banda Aceh.
4) Catatan Bagura, Juli 1949.
Bagura berangkat dari Takengon menuju Waq secara berangsur selama dua hari, menggunakan truck milik seoarang warga negara Cina Bunchin, dikemudikan oleh Ja’far. Mereka memakai pakaian seragam dan ikat kepala kain berwarna merah. Sebagian tidak memiliki pakaian seragam, ada bersepatu dan ada yang tidak, dilengkapi dengan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar pedang. 5)
Menjelang keberangkatan Bagura ke Karo, Aman Dimot menyatakan kepada isteri dan anak-anak belliau :
“Jaga anak kita baik-baik. Saya tidak akan kembali kesin lagi. Maafkan kesalahan saya”.
Mereka saling bersalam. Anak-anak beliau memeluknya, seraya manangis melepas suami dan ayah tercinta dengan do’a. syekh Ahmad-anak beliau-ingin melawan Belanda bersama ayahnya, tetapi Aman Dimot tidak mengizinkannya. Syekh Ahmad semakin bersedih ketika menatap ayahnya diatas truck, mengucapkan “BISMILLAH, ALLAHU AKBAR”, penuh semangat.
Ketika pasukan Bagura hari hari pertama tiba di Waq, Aman Dimot meminta kesediaan Tgk. M. Saleh Adry untuk membawa anaknya-Syekh Ahmad-ke Reruang bersama anggota pasukan yang diberangkatkan ke Waq hari kedua. Aman Dimot berburu rusa di Gelampang untuk perbekalan, sambil menuggu anaknya dan pasukan Bagura hari kedua. Beliau bersama Tgk. Ilyas Lebe, Tgk. M. Saleh Adry, dan Syekh Ahmad, bermalam dirumah Sumaraji di Reruang, ketika tengah malam, Aman Dimot memandikan Syekh Ahmad disebuah anak sungai sambil berdo’a agar anaknya dapat mengamalkan ilmu yang dimiliki ayahnya. Kemudian Aman Dimot berkata : “Win-anakku-,ayah hendak pergi berperang. Sekirannya bertuah, ayah akan kembali. Ayah ingin membela agama, bangsa, negara dan kakekmu yang dibunuh Belanda dijembatan Bale Lanjutkan perjuangan bila ayah berpulang ke Rahmatullah”. 6)
———————————————-
5) Surat lebaran “Perang dan Idul Fithri, Zuska, Analisa Minggu, 2 September 197.
6) Wawancara dengan Isteri dan anak Aman Dimot, Samidah dan Syekh Ahmad di Remesen, 15 Juli 1974. “Win”(Bhs. Gayo) adalah panggilan kasih sayang kepada seorang lelaki.
Pukul 08.00 hari Jum’at, M. Jamil membunyikan terompet, anggota Bagura berkumpul di Waq dan menyusun barisan menurut kelompok yang sudah ditetapkan. Syekh Ahmad menyusup dibarisan belakang pasukan berkuda, untuk memenuhi keinginannya ikut bersama ayahnya melawan Belanda.
Dengan pekik “Allahu Akbar” dan “Merdeka”, Bagura bergerak berjalan kaki menuju Tanah Karo, melalui route Lumut, Ise-Ise, Kenyeren, Belangkejeren, Uten Pungke, jamur Duwe, Umah Bundar, gunung Setan (Louser), Simpang Tiga Junger, Tanah Merah, Kutacane, Pemanting dan Sugihan. Di tempat-tempat itu mereka istirahat dan bermalam. Di Lumut mereka dijamu oleh Aman bedus, di belang kejeren selama dua hari dijamu oleh Muhammad Dhin. Di Kutacane mereka melakukan konsulidasi, menerima dan mempelajari informasi serta menyusun taktik dan strategi menghadapi tentara Belanda di front Tanah karo.
Setelah enam hari berada di Kutacane, Bagura menuju pusat pejuang dibagian Barat Tanah Karo -Pemanting dan Sugihan-, dimana Bagura bergabung dengan kesatuan pejuang lainnya berkekuatan 300 personel yang dipimpin oleh Selamat Ginting. Atas usul Pang Jaring, maka pada tanggal 25 Juli 1949 dilakukan pengepungan asrama meliter Belanda di Mardinding. Sebelumnya koordinator Bagura memerintahkan pang Kilet dan Pang Sekunce untuk mengintai kekuatan dan keadaan tentara Belanda pukul 00.10. sekeliling asrama meliter Belanda itu dipasang kabel beraliran listrik. Dengan cara-cara tertentu yang dilakukan Pang Kilet dan Pang Sekunce, tentara Belanda yang bertugas jaga terlena, sementara yang lainnya tidur pulas. Kedua Pang tersebut melapor kepada koordinator Bagura yang berada 200 meter dari lokasi asrama tentara Belanda bersama pasukannya. Penyerbuan dilakukan dini hari dengan cencangan pedang dan tembakan senapang. Tentara lari ke kembangan.
Tanggal 26 Juli 1949, bagura menuju tiga binanga dan Kalibata. Tanggal 30 Juli 1949 pukul 08.00 nampak iringan-iringan pasukan tentara Belanda di Raja merahe, menggunakan 25 truck dan dua buah tank masing-masing didepan dan dibelakang pasukan. Kekuatan personel tentara Belanda diperkirakan 600 orang dengan persenjataan lengkap.
Koordinator Bagura memerintahkan anggota pasukan siap siaga dipematang dan relung-relung bukit bersemak lalang, menanti pasukan Belanda ditekongan patah jalan kutacane-kabanjahe. Beliau berada dipematang bukit bersemak, dari situ tampak jelas gerakan musuh. Aman Dimot, pang Alim Aman Aminah, Pang Ali Ketol, Pang Kilet, Pang Sekunce, Adam dan Ali Rema serta empat orang lainnya, siap siaga dilekuk bukit dengan tekongan jalan paling patah dengan senapang dan pedang. Ketika tank belanda paling depan berada ditekongan paling patah itu, koordinator Bagura memberi komando :“Serbu!” dengan teriakan diiringi tembakan. Pang Aman Dimot, Pang Ali dan 8 pejuang lainnya dengan cepat melompat menyerang dan naik keatas tank dan truck tentara Belanda, seraya meneriakkan “Allahu Akbar” dan mencencang lima tentara Belanda. Sementara yang lain menyerang dan membunuh tentara Belanda di truck-truck dibelakangnya dan yang sedang melompat dan tiarap diparit jalan.
Waktu menunjukkan pukul 11.00, koordinator Bagura memberi komando “Munduur!”, sebab anggota pasukan Bagura semakin lelah dan dari kejauhan nampak pasukan bala bantuan tentara Belanda dengan cepat menuju lokasi pertempuran. Pang Ali dan Pang Alim terjun kedalam jurang, anggota pasukan lainnya mundur secara teratur. Adam dan beberapa anggota lainnya gugur. Sementara Pang Aman Dimot sendiri terus melawan tentara Belanda, tidak menghiraukan perintah mundur.Koordinator bagura berteriak memanggil Aman Dimot dengan bahasa Gayo :” Abang aman Dimot, ulaaak !”. Aman Dimot menjawab : “Aku gere ulak” 7).
Aman Dimot bertambah lelah dan lemah. Beliau dikepung dan tangkap tentara Belanda, diseret dengan mobil Tank ke lapangan dan sebelumya Aman dimot digiling dengan mobil Tank lalu dimasukkan kedalam parit jalan. dan Tentara Belanda memasukkan dan meledakkan geranat dalam mulutnya.
Jasad Aman Dimot berserakan menaburi ibu Pertiwi tepat pukul 12.00.8) Perang berakhir dalam situasi penuh haru dan semangat mempertahankan Bangsa dan Negara. Aman Dimot, Adam (Unig Isaq), Ali (Penam paan) dan Adam (Rema) yang gugur ditengah-tengah gelimpangan mayat tentara Belanda, disemayamkan oleh penduduk di Rajamerahe. Kemudian Haji Sulaiman-yang baru menganut Islam-, memindahkan kerangka Syuhada’ itu ke Tiga binanga. Selanjutnya pemerintah daerah Tingkat II Karo memindahkannya ketaman makam Pahlawan kaban Jahe dalam kelompok Pahlawan tidak dikenal. 9)
20 hari kemudian, Kepala Staf Angkatan Perang Tentara Nasional Indonesia Sektor III/ Sub teritorial VII-Ulung Setepu-, dalam surat pernyataan turut berduka cita menyatakan, bahwa Aman Dimot telah bertempur dengan gagah berani melawan musuh-musuh kita di Rajamerahe (Tanah Karo-Sumatra Timur) dan telah gugur sebagi bunga melati dipangkuan Ibu Pertiwi Indonesia pada tanggal 30 bulan Juli 1949. 10)
Almarhum meniggalkan dua orang isteri : Semidah (Lahir 1910) dan Jani serta 4 anak : Syekh Ahmad Aman (1921), Ali Ahmad Aman Safiah (1924), Aisyah Inen Jura’(Lahir 1927) dan Muhammad Yunus Aman Ir (Lahir November 1948).
Untuk mengabadikan perjuangan pang Aman Dimot dan Pang Ali, Z. Kejoro dan Agussalim bersama teman-teman seperjuangan di kandibata, mengubah sebuah lagu “Pertempuran Sukaramai”, ketika dalam perjalanan kembali dari Front Tanah Karo.
———————————————-
7) Ulak (Gayo) artinya pulang. Aku gere ulak = saya tidak pulang.
8) Catatan Bagura 1949 dan wawancara Tgk. Ilyas Lebe di Banda Aceh, 10 Juni 1966.
9) Wawancara dengan tgk. H. Abd. Rahman Aly Gayo di Takengon, 20 Januari 1995.
10) Surat pernyataan NO. Sektor III/2/49/752, 20 Agustus 1949.
Masyarakat berkumpul di bioskop Gentala dan dijalan Lebe Kader dan Jalan Mahkamah Takengon, menanti dan menyambut kedatangan para pejuang dari medan perang, dengan penuh semangat dan kasih sayang. Senin 10 Agustus 1949, pukul 10.00, mereka tiba di Takengon dari Isaq. Masyarakat menyambut mereka dengan pekik “ Allahu Akbar” dan “Merdeka”. Para pejuang dirangkul dan sebagian digotong memasuki gedung Gentala.
Koordinator Bagura menyampaikan riwayat perjuangan di wilayah Kandibata, setelah Bupati Abd. Wahab atas nama pemerintah dan masyarakat menyambut mereka. Acara diakhiri dengan lagu bersama pasukan Bagura, diikuti oleh hadirin dengan penuh semangat dan cucuran air mata, sebab Aman Dimot dan beberapa pejuang lainnya telah tiada.
***
Siapapun tidak mampu menilai dan membalas keikhlasan perjuangan Pahlawan Aman Dimot dalam mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Rajamerahe Kandibata, selain do’a semoga Allah memasukkan Almarhum kedalam Sorga. 10 Januari 1952, Bupati Aceh Tengah pernah memberi bantuan kepada keluarga Almarhum Aman Dimot : 1 helai kain sarung, 12 yard kain kemeja. 3 batang sabun cuci, 2 buah sabun mandi, dan Rp. 100,-uang tunai. 11)
Dalam rangkaian peringatan memperingati Hari Pahlawan 10 November, Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Tengah, memberi bingkisan kepada keluarga Almarhum. Sejak 12 September 1978, telah diurus surat-surat untuk memperoleh tunjangan veteran RI bagi kelurga Aman Dimot. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah- H. M. Beni Bantacut, BA -, pernah menyampaikan nota kepada Kepala Kantor Veteran Aceh Tengah tahun 1980 dan memberi bantuan biaya pengurusannya, bahkan beberapa pimpinan masyarakat pernah menyumbang untuk itu, namun sampai sekarang surat pengakuan Veteran dimaksud belum ada!!
———————————————-
11) Surat Bupati Aceh Tengah, 10 Januari 1952.
Dalam temu ramah pimpinan Daerah Istimewa Aceh dengan para pejuang dan keluarga Pahlawan November 1994 di Mount Mata Banda Aceh, H. Abd. Rahman Aly Gayo memberi ceramah berjudul : “BAGURA DAN PANGLIMA AMAN DIMOT”. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh – Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud -, sangat tergugah terhadap perjuangan dan pengurbanan Aman Dimot. Beliau mengharap agar H. Abd. Rahman Aly Gayo menjiarahi dan mempelajari kemungkinan pemugaran makam pahlawan Aman Dimot.
Setelah berkonsultasi dengan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah – Drs. Buchari Isaq – 6 januari 1995 di Takengon, H. Abd. Rahman aly Gayo bersama Ali Hasan dan Syekh Ahmad, menuju Kabanjahe . Mereka berkonsultasi dengan Asisten II Sekretaris Wilayah Daerah Tingakt II Karo – Drs. M. Nurdin Ginting -, sebelum menjiarahi makam Pahlawan Aman Dimot. 12)
Hasil konsultasi dan Ziarah itu, disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah dan Beberapa pemimpin Masyarakat di Takengon. Hasil konsultasi itu diteruskan kepada Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh 26 januari 1995, terdiri dari :
1. Memugar makam Pahlawan Aman Dimot dan 6 Pahlawan lainnya yang berasal dari Aceh Tengah di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.
2. Membangun monumen Pahlawan tersebut di Takengon.
3. Menerbitkan buku sejarah perjuangan-perjuangan masyarakat Aceh Tengah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
4. Mengurus surat pengakuan dan bantuan Veteran bagi keluarga Pahlawan Aman Dimot.13)
Sementara itu, pada November 1994, PPM ( Pemuda Pancasila Marga ) aceh Tengah melakukan napak tilas “Aman Dimot”, menempuh route perjalanan Bagura menuju Tanoh Karo. Tujuannya agar generasi muda mampu menghayati dan meneladani perjuangan Aman Dimot.
————————————————
12) Wawancara dengan H. Abd. Rahman Aly Gayo, 20 Januari 1995 di Takengon.
13) Surat H. Abd. Rahman aly Gayo, 31 Januari 1995.
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh berharap agar Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah, dapat merumuskan bersama instansi terkait dan pemimpin masyarakat untuk memugar makam para Pahlawan Aman Dimot. 14)
Dalam rapat ke- II panitia hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-50 di Aceh Tengah, Senin 18 Mei 1995, dibicarakan pemugaran makam pahlawan Aman Dimot dan penulisan sejarah perjuangan masyarakat aceh Tengah dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI, sebagai salah satu program memperingati Kemerdekaan RI di Aceh Tengah.
Serangkaian dengan itu, Bupati Kepala daerah Tingkat II Aceh Tengah mengundang Ketua Legiun Veteran RI Cabang Aceh Tengah, Pasi MIN DIM 0106, Sekretaris Legiun Veteran Ri Kabupaten Aceh Tengah, Ali Hasan, Drs.H, Mahmud Ibrahim, Tgk. H. Mohd. Ali Djadun, Tgk. H. M. Ali Salwany dan M. Y. Sidang Temas pada hari Selas 23 Mei 1995 mulai pukul 09.00 WIB, untuk membicarakan pemugaran makam Panglima Aman Dimot diruang kerja Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II Aceh Tengah. 15)
Pertemuan tersebut tidak jadi dilaksanakan, karena Bupati Kepala Daerah, Drs. H. Mahmud Ibrahim dan tgk. H. M. Ali Salwany menghadiri temu ramah dengan Pangdam – I bukit Barisan di Lhokseumawe.
****
Bangsa yang besar dan terhormat adalah bangsa yang menghargai jasa dan menghayati perjuangan para Pahlawannya. Untuk itu perlu dikaji dan ditulis sejarah perjuangan masyarakat Aceh Tengah dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Membangun monumen sejarah, mengabadikan nama-nama Pahlawan sebagi nama bangunan dan nama jalan yang vital dan mengusahakan kesejahteraan keluarga para Pahlawan.
———————————————
14) Surat Gubernur No. 469/9954 tanggal 24 April 1995.
15) Surat undangan No. 005/1076 tanggal 18 Mei 1995.
Jalan raya semakin mulus. Cahaya bersinar dikota dan desa. Kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Namun masih banyak orang melupakan Tuhan dan Pahlawan. Peringatan 50 tahun Kemerdekaan republik Indonesia, hendaknya lebih mampu menggugah manusia Indonesia untuk lebih bersyukur kepada Allah dan lebih menghayati dan menghargai perjuangan dan jasa Pahlawan, guna menigkatkan pembangunan.
Tulisan sederhana ini, diakui belum lengkap dan sempurna. Ada diantara pelaku-pelaku sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia, yang diberi Allah Kesempatan hidup. Tolong dicatat sejarah itu dan sempurnakan tulisan ini, agar kita tidak berdosa apabila generasi penerus tidak mengetaui dan menghayatinnya, disebabkan kita tidak mewariskannya berupa tulisan dan peringatan.
Terima kasih.
*********
Saat ini keluarga Pejuang Aman Dimot berharap kepada pemerintah Provinsi Aceh untuk kembali memperhatikan keluarga dari Aman Dimot yang di tinggalkan. Saat ini keluarga Aman Dimot seluruhnya berada di Kabupaten Bener Meriah Propinsi Aceh . Alamat keluarga Panglima Aman Dimot, Kampung Mutiara Kecamatan Bandar. Kabupaten Bener Meriah, Kontak
Dirilis oleh Cucu Aman Dimot (Siti Ramlah. AD )
 Person. 085260661943/085207077526