Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa

Panglima Teungku Tapa:
Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai saat Sultan Muhammad Daudsyah ditangkap di Pidie pada tahun 1903 ternyata belum juga berakhir. Meskipun Sultan telah ditangkap, perang masih saja berlarut-larut bahkan sampai menjelang kadatangan Jepang ke Aceh pada tahun 1942. Perang yang sangat panjang ini, tentu saja melahirkan banyak sekali panglima perang, di antaranya yang terkenal adalah Panglima Tengku Tapa.Siapa Panglima Tengku Tapa?. Sejauh ini belum ada referensi yang menyebutkan nama asli Panglima yang terkenal ini. Namun nama beliau sangat sering disebut dalam sejarah Perang Aceh, khususnya pada fase terakhir, yaitu akhir abad ke-19. Dalam perlawanan terhadap Belanda di wilayah pesisir timur Aceh sejak dari tahun 1898 sampai tahun 1900.

Panglima Tengku Tapa, namanya sering disejajarkan dengan Panglima Nyak Makam yang sama-sama sangat gigih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh dalam rangka mempertahankan eksistensi Kerajaan Aceh Darussalam dari gempuran Belanda yang semakin intensif dilakukan di seluruh wilayah Aceh. Tidak tanggung-tanggung, Van Heutsz sendiri turun tangan dalam mengejar pasukan Tengku Tapa hingga ke Idi, Aceh Timur dari Kutaraja (Banda Aceh).

Panglima Tengku Tapa berasal dari daerah Telong Redelong Tue, yang berjarak kira-kira 25 kilometer dari Takengon Gayo Lut, ibukota Aceh Tengah sekarang. Menurut sumber lokal menyebutkan bahwa, para pembantu Tengku Tapa di Dataran Tinggi Gayo adalah Pang Pren dari Munte Kala kampung Kung Pegasing, sementara Pang Ramung dari Kebayakan. Pang Pren dan Pang Ramung sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama panglima Tengku Tapa, bahkan kedua-duanya sering diikutsertakan Tengku Tapa menghadap Sultan Aceh dan pembesar-pembesar lainnya di Kutaraja. Pang Pren diberi tugas oleh Panglima Tengku Tapa di daerah Bebesan-Pegasing, sementara Pang Ramung mendapat tugas memimpin daerah Bukit kebayakan di Gayo Lut. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Pang Pren mewakili Panglima Tengku Tapa di seluruh daerah Gayo Lut bersama Pang Ramung.

Pasukan Panglima Tengku Tapa merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi Gayo dan pasukan dari Aceh. Mereka beroperasi di sekitar Aceh timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 dan 1900. Pasukan ini dikenal sangat tangguh, berani dan fanatik oleh pasukan Belanda. Namun, karena pasukan Van Heutsz yang sangat besar dalam jumlah dan persenjataannya membuat pasukan Panglima Tengku Tapa harus mengundurkan diri ke Dataran Tinggi Gayo yang berjarak kira-kira 40 sampai 50 kilometer dari Idi.

Snouck Hurgronje yang banyak menulis tentang Aceh menyebutkan bahwa Panglima Tengku Tapa adalah “orang ajaib” atau “orang keramat” yang dalam istilahnya sendiri menyebut “wonderman” yang berasal dari Gayo Telong. Menurut Snouck, Tengku Tapa sangat banyak pengikutnya pada tahun 1898 hingga tahun 1900, terutama di daerah Aceh Timur dan daerah Pasee, Aceh Utara. Tengku Tapa tetap melakukan perlawanan bersama pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Gayo dan orang-orang Aceh, hingga beliau syahid di daerah Pasee pada tahun 1900.

Snouck menyebutkan, pada awalnya Tengku Tapa merupakan seorang penghisap candu dan pemain judi, kemudian dia mendapat ilham setelah bertapa selama tujuh tahun di Gunung Geureudong dekat Telong Takengon. Sekembalinya dari pertapaan, dia insyaf dan memiliki ilmu kekuatan ghaib. Perubahannya secara fisik sangat kentara, sehingga ia tidak dikenali lagi oleh seorangpun yang mengenal sebelumnya. Demi berbakti dalam perang sabil atau perang suci melawan Belanda, ia lebih memilih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh, karena ia berpikiran akan mendapat pengikut yang lebih banyak dibandingkan bila berjuang di daerahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan ia tampil dalam peperangan di pesisir timur Aceh bersama-sama dengan para pengikutnya.(Snouck, 1903, hlm.187)

Dalam versi lain, M. Said, menyebutkan Tengku Tapa yang berasal dari Gayo dan memimpin pertempuran di wilayah Aceh Timur. Hal itu terjadi setelah Panglima Nyak Makam syahid oleh Belanda di Aceh Besar. Dikisahkan, Tengku Tapa berjuang bersama dengan istrinya sejak 30 Juni 1898 dalam pertempuran melawan serbuan Belanda di Aceh Timur yang terus berkobar. Setelah Idi Cut dapat dikuasai oleh pasukan Tengku Tapa, beliau memilih Peukan Idi sebagai markas pertahanannya.

Pihak Belanda mencoba untuk merebut Idi Cut kembali, tetapi pasukan Tengku Tapa terus maju mengadakan serangan sampai ke ibukota Idi. Di daerah dekat Idi, di Teupin Batee Tengku Tapa membangun kubu-kubu pertahanan pasukannya. Pada tanggal 3 Juli 1898, balatentara Belanda mendaratkan balabantuan tambahan secara besar-besaran ke Idi. Tiga Kompi tambahan dikerahkan untuk menyerbu pertahanan Tengku Tapa di Teupin Batee.

Menurut laporan Belanda, penyerbuan ke Teupin Batee tidak berhasil dilakukan sehingga mereka terpaksa mundur lagi ke Idi. Pasukan Teungku Tapa yang berkeinginan merebut kota Idi membangun kubu pertahanan di daerah Seuneubok. Belanda mengirimkan pasukan besar-besaran yang dipimpin van Heutsz sendiri untuk membantu pasukan lama yang semakin terdesak oleh pasukan serbuan Tengku Tapa. Pada tanggal 7-11 Juli 1898, pasukan van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke pertahanan Panglima Tengku Tapa di Seuneubok. Akhirnya pasukan Tengku Tapa tidak dapat mempertahankan Seuneubok dan mereka terpaksa mundur ke Tanah Gayo.(M.Said, 1961, hlm.615).

Dalam tulisan versi lain Hazil menyebutkan, bahwa Tengku Tapa adalah seorang ulama dari Idi. Beliau merupakan penganjur perang sabil terhadap Belanda. Teungku Tapa mengajarkan kepada rakyat, bahwa suatu mukjizat akan terjadi di Aceh; seperti dalam hikayat Malem Dewa dan Meureundam Dewi dalam epos Malem Dewa yang sangat masyhur, kini telah bangkit kembali di Aceh Dar-al Islam. Tengku Tapa menyesuaikan hikayat yang populer itu dengan suasana kekinian pada masa itu, yakni dalam suasana Perang Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan agama dalam melawan penjajah yang kafir.

Kedua pahlawan yang telah bangkit itu akan menyelamatkan Aceh dari penjajahan. Demikian amanat dari Tengku Tapa. Ia mengajak rakyat Aceh ikut serta memerangi kafir dan menyelamatkan kemerdekaan negara dan agama. Anjuran ini disambut oleh rakyat dengan hangat. Kemudian pasukan Tengku Tapa menjadi besar dan laksana banjir meluas ke daerah-daerah lain pada akhir Juni 1898.

Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa untuk menghentikan perlawanannya, tetapi tidak berhasil. Van Heutsz terpaksa menunda mengejar Teuku Umar dan Panglima Polem. Ia sendiri terpaksa berangkat ke Idi untuk memadamkan perlawanan yang tidak disangka-sangka itu. Namun, pasukan Tengku Tapa terus maju menghadang pasukan meriam dan infanteri Van Heutsz, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi syahid. Pasukan Van Heutsz memperoleh kemenangan dalam serbuan itu, dan mereka terus mengejar sisa-sisa pasukan Tengku Tapa hingga ke Seuneubok. (Hazil, 1952, hlm.141-142).

Menurut Snouck, Tengku Tapa syahid di daerah Pasee Aceh Utara pada tahun 1900. Sejak saat itu sang “wonderman” sudah tidak pernah muncul lagi dalam perlawanan rakyat di pesisir timur Aceh.

Referensi :
Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh, Djakarta: Djambatan, 1952.
Hurgronje, Snouck.,C. Het Gajoland en zijne bewoners, Batavia: Pemerintah Hindia Belanda, 1903.
Said, M., Atjeh Sepandjang Abad, Medan: Waspada, 1961.

Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.

0 komentar:

Posting Komentar